WHAT'S NEW?
Loading...
Tampilkan postingan dengan label Humor Kiai. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Humor Kiai. Tampilkan semua postingan
Santri: Kenapa wanita dulunya dilarang ziarah kubur?
Ustadz: Karena pada zaman Nabi wanita Arab dulu punya kebiasaan yang tidak baik. Ketika berziarah kubur mereka berteriak-teriak, meraung-raung, bahkan ada yang menyobek-nyobek pakaiannya sendiri. Jadi illat atau penyebab diharamkannya dulu itu adalah faktor “histeris” itu.
Santri: Jadi sekarang sudah tidak dilarang?
Ustadz: Ya. Bahkan jadi sunnah. Di Arab sana wanita-wanita sudah tidak histeris begitu. Nabi juga sudah mencabut larangannya. Apalagi di Indonesia, kebiasaan seperti itu dari dulunya tidak ada.
Santri: Tapi, menurut saya, ada pengecualian untuk wanita Betawi.
Ustadz: Lha kenapa?
Santri: Kalau dulu wanita Arab berteriak-teriak, tapi sekarang saat wanita Betawi ziarah kubur, yang berteriak malah jin yang ada dalam kuburan itu.

Ustadz
: Lha kenapa?
Santri: Jinnya kesel. “Hei ibu-ibu, jangan berisik,” katanya.

Ustadz
: Ohhhh…………….. (nam)
Wah sekarang ini kiamat sudah dekat, tanda-tandanya sudah nyata,” guman seorang pemuda pada temannya.
Dengan heran temannya menjawab: “He… siang hari begini kau kok mengigau, dan kenapa pesimis amat, papa lu mulai percaya ramalah ahli nujum dari Meksiko itu?”
“Bukan itu, bagaimana kiamat tidak terjadi kalau kiai yang biasasnya berbicara soal ibadah saat ini sudah bicara soal teknologi dengan bahasa yang fasih lagi”
“Masak iya sih?” Tanya temannya heran.
“Itu lihat KH Hasyim Muzadi dan KH Hasyim Wahid sudah bicara teknologi informasi dengan fasih, apa ini bukan salah satu tanda kiamat sudah dekat?”
“Ya benar sih. Ini pertanda kiamat bagi profesimu sebagai perusahaan teknologi informasi, sebab wilayahmu akan digusur para kiai dan tamatlah riwayat bisnismu, itu benar-benar kiamat untukmu.”
“Ooo begitu toh maksudnya”
“Wah kalau begitu tidak ah, saya tidak mau kiamat,”
“makanya janagan underestimate pada kemampuan orang, semua orang apalagi kiai kalau mau belajar semuanya bisa, kenapa kita sewot?”
“Iya-yaa….” (bregas).
Amron, seorang pegawai di perusahaan BUMN sedang gelisah dan mengeluhkan persoalannya kepada seorang kiai yang tinggal di samping masjid tidak jauh dari rumah kontrakannya.
Amron: Pak Kiai tadi ada pengajian bulanan di kantor.
Kiai: Lalu?
Amron: Ustadnya bilang kalau tahlil itu bid’ah, mengerjakannya malah berdosa.
Kiai: Terus?
Amron: Dia juga membacakan dalil-dalil kalau ziarah kubur itu syirik.
Kiai: Ehmmm…
Amron: Berdzikir dengan suara keras itu katanya tidak ada bedanya dengan kampanye calon DPR.
Kiai: Lalu sampean bilang gimana?
Amron: Ya di situ saya malu sekali. Saya tidak bisa berkata apa-apa. Orang-orang di situ semuanya seakan-akan menertawai saya.
Sang Kiai terdiam sebentar lalu memberikan sedikit pelajaran kepada Amron tentang persoalan ubudiyyah, bid’ah, tahlil dan persoalan khilafiyah lainnya. Amron manggut-manggut.
Kiai: Sampean faham apa ndak?
Amron: Ehhhmmm.. Lumayan faham sih Kiai, tapi sulit menjelaskan kepada mereka soalnya mereka hafal dalil-dalil.
Kiai: Dalilnya pake Bahasa Arab?
Amron: Enggak sih, sudah diterjemahkan pake bahasa Indonesia.
Kiai: Wah kalau begitu untuk menghadapi mereka sih gampang saja.
Amron senang sekali: Wah bagaimana caranya kiai?
Kiai memberikan satu kitab berbahasa Arab berjudul “Hujjah Ahlissunnah wal Jama’ah.”
Kiai: Kalau mereka tanya dalilnya ya pinjamkan saja kitab ini sebentar. Bilang kalau di sini ada dalilnya banyak. Paling juga mereka ngga bisa bahasa Arab.
Kiai tersenyum. Amron pun setuju.


NB: ini adalah artikel humor pengganti “Lihat Surga Amrozi(alm)” yang menurut pengunjung situs ini harus diganti. Semoga bermanfaat.

Ini adalah cerita tentang Kiai Fatah yang cerdik dan sering disebut sebagai “Godfather kelompok mafia intelektual” di sebuah daerah di Jawa Tengah. Dia cerdik dalam membuat pendapatnya paling unggul, disimak, dan seperti merangkum semua pembicara lain dalam setiap pertemuan, dengan cara bicara paling akhir.

Merek dagang Kiai Fatah yang sudah diketahui semua orang adalah angkat telunjuk dengan berkata, “Apa masih ada waktu buat saya? persis ketika acara akan diakhiri. Suatu kali orang NU dan Muhammadiyah mengadakan pertemuan dan sempat bergurau memperdebatkan soal “hadiah” membacakan surat Al Fatihah kepada orang yang sudah meninggal.  Apakah “kiriman” itu bisa sampai kepada sang arwah, seperti pos kilat yang menyampaikan paket ke suatu alam dalam kehidupan dunian? Apa dasar pendapat yang diikuti masing-masing pihak?
Yang dari Muhammadiyah tidak melihat “dalil yang dapat dipegang” dari Al Quran maupun hadis Nabi Muhammad, untuk menunjang kemungkinan kiriman via “pos akhirat” sampai ke tujuan di alam sana. Yang NU berpegang pada pendapat para ulama madzab yang empat, yang menerima kemungkinan seperti itu.
Pandangan Kiai Fatah? “Hadiah Fatihah tidak sampai ke alamatnya menurut Imam Syafii,” kata Kiai Fatah. “Hadiah itu sampai menurut ketiga imam yang lain. Jadi kita ikuti suara mayoritas sajalah.”
Gus Dur pun ikut komentar. “Sudah tentu kirimannya tidak segera sampai secepat pos kilat khusus karena tidak didukung oleh Imam Syafii,” kata Gus Dur, “Tapi mereka toh sudah biasa dengan pola alon-alon asal kelakon? (pelan-pelan asal tercapai tujuannya). (ahm)

Suatu hari, di bulan Ramadan, Gus Dur bersama seorang kiai lain (kiai Asrowi) pernah diundang ke kediaman mantan presiden Soeharto untuk buka bersama. Setelah buka, kemudian salat Maghrib berjamaah. Setelah minum kopi, teh dan makan, terjadilah dialog antara Soeharto dan Gus Dur.
Soeharto: “Gus Dur sampai malam di sini?”
Gus Dur: “Engga Pak! Saya harus segera pergi ke ‘tempat lain’.”
Soeharto: “Oh iya ya ya… silaken. Tapi kiainya kan ditinggal di sini ya?”
Gus Dur: “Oh, iya Pak! Tapi harus ada penjelasan.”
Soeharto: “Penjelasan apa?”
Gus Dur: “Salat Tarawihnya nanti itu ‘ngikutin’ NU lama atau NU baru?”


Soeharto jadi bingung, baru kali ini dia mendengar ada NU lama dan NU baru. Kemudian dia bertanya. Soeharto: “Lho NU lama dan NU baru apa bedanya?”
Gus Dur: ” Kalau NU lama, Tarawih dan Witirnya itu 23 rakaat.”
Soeharto: “Oh iya iya ya ya… ga apa-apa….”
Gus Dur sementara diam.
Soeharto: “Lha kalau NU baru?”
Gus Dur: “Diskon 60% !”
Hahahahahaha…. (Gus Dur, Soeharto, dan orang-orang yang mendengar dialog tersebut pun tertawa.)
Gus Dur: “Ya, jadi salat Tarawih dan Witirnya cuma tinggal 11 rakaat.”
Soeharto: “Ya sudah, saya ikut NU baru aja, pinggang saya sakit.” (mbs)

Di satu pesantren di Jombang, Jawa Timur, santri-santri dilarang merokok. Dan mbah kiai pengasuh pesantren tidak segan-segan memberikan takzir (hukuman) setimpal pada santri yang melanggar. Namun ada saja santri nakal yang melakukan pelanggaran.
Beberapa gelintir santri yang tidak tahan ingin merokok mencari-cari kesempatan di malam hari, pada saat gelap di sudut-sudut asrama atau di gang-gang kecilnya, atau di tempat jemuran pakaian atau di pekarangan kiai.Satu malam seorang santri perokok ingin melakukan aksinya. Ia bergegas ke kebun blimbing. Ia dekati seorang temannya di kejauhan sedang menyalakan rokok.
“Kang, join rokoknya ya…” katanya sambil menyodorkan jari tengah dan telunjukknya.
Temannya langsung menyerakan rokok yang dipegangnya.
Santri perokok langsung mengisapnya. “Alhamdulillah, nikmatnya…” katanya. Diteruskan dengan isapan kedua.
Rokok semakin menyala, dan… dalam gelap dengan bantuan nyala rokok itu lamat-lamat ia baru sadar siapa yang sedang dimintainya rokok. Namun santri belum yakin dan diteruskan dengan isapan ketiga… Rokok semakin meyala terang.
Ternyata… yang dia mintai rokok adalah kiainya sendiri.
Santri kaget dan ketakutan. Dia langsung kabur. Lari tunggal langgang tanpa sempat mengembalikan rokok yang dipinjamnya.
Sang kiai marah besar: “Hei rokok saya jangan dibawa, itu tinggal satu-satunya, kang…” (nam)
Setelah Orde Baru wassalam 1998, puluhan partai baru bermunculan seperti jamur di musim hujan. Orang-orang pesantren pun tidak ketinggalan. Nah salah satu partai yang didirikan oleh warga pesantren ternyata ikut-ikutan menang dan salah seorang “kiai kampung” (sebut saja begitu) terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sebenarnya dia tidak seberapa sreg berada di dunia politik, akan tetapi demi menyampaikan ngaspirasi rakyat baiklah akhirnya dia bersedia.

Alkisah pada suatu saat terjadi sidang yang sangat alot. Sepertinya para anggota dewan sedang membahas masalah anggaran pendidikan. Kiai kampung tidak setuju dengan usulan mayoritas anggota DPR yang memberikan alokasi kecil untuk pendidikan, padahal pendidikan adalah prasyarat terpenting maju-mundurnya sebuah negara. Pendidikan yang dimasksud oleh kiai kampung tadi tentunya adalah pendidikan pesantren. Payahnya lagi, rekan-rekan satu partai pun berfikiran sama, mereka tidak memandang penting arti sebuah pendidikan. Sang kiai merasa sendirian di gedung milik rakyat itu.
Namun apa boleh dikata, kiai kampung sulit menyampaikan aspirasinya. Banyak peraturan di DPR yang sama sekali baru buatnya. Banyak sekali istilah-istilah aneh yang baru didengar. Sementara sang kiai, jangankan untuk ikut menyampaikan usulan, membaca draft undang-undang berbahasa Indonesia saja setengah berkeringat. Kiai kampung hanya mahir memahami teks Arab atau menuliskan sesuatu dengan huruf Arab.
Sidang terus berlangsung. Sang kiai kampung tidak bisa menahan diri akhirnya ia menuliskan beberapa kalimat berbahasa Indonesia dengan huruf arab (kita menyebutnya arab pegon). Dan sang kiai langsung maju ke depan menemui ketua sidang. Ruang sidang tiba-tiba sunyi senyap. Semua mata tertuju kepada kiai dan ketua sidang.
Kiai kampung langsung memberikan selembar kertas yang telah ditulisnya. Ketua sidang sebenarnya pernah belajar di pesantren kiai kampung tapi belum sampai mahir memahami tulisan Arab. Kertas tadi dia ambil lalu dimasukkan ke sakunya karena dia kira itu berisi doa atau sejenis jimat, lalu bicara, “Ini kiai kampung sebagai yang dituakan di partai anu telah menyetujui budget kita sekian agar tidak menganulir lainnya, buktinya beliau telah merestui saya.” Ketua sidang mengambil lagi kertas dari sakunya dan menunjukkan kepada para anggota sidang.
“Iya tapi saya tidak setuju kalau anggarannya segitu,” kata kiai kampung menyahut sambil berjalan ke tempat duduk semula, meskipun ia yakin tidak faham betul apa itu ‘budget sekian’ dan ‘menganulir’ yang dimaksud oleh ketua sidang.
Sidang lalu kembali ramai memperdebatkan soal angka. Waktu itu hampir disepakati besaran angka tertentu yang lebih tinggi dari semula. Namun kiai kampung tetap tidak puas dan dia langsung keluar sidang. Para anggota dewan pun terkejut.
“Kiai kampung walk out, kita tunda dulu sebentar,” kata ketua sidang sambil mengetuk palu. Beberapa orang mengikuti kiai tadi keluar ruangan termasuk ketua sidang tadi.
Sementara itu kiai kampung langsung bergegas ke musholla. Dia bercerita kepada rekannya yang lebih awal mengikutinya. “Saya ingin berdoa biar usulan saya dikabulkan oleh Allah,” katanya. Rekannya bertanya-tanya tapi mereka ikuti saja yang dilakukan kiai kampung.
Kiai kampung langsung bergegas melakukan sholat dua raka’at dan membaca doa istighothsah diikuti rekan-rekannya, termasuk ketua sidang tadi. Usai berdoa, kiai kampung sempat terkejut melihat ketua sidang, lalu berkata, “Alhamdulillah pak ketua sidang akhirnya setuju dengan usulan saya, buktinya dia ikut berdoa bersama kita. Sebagai wakil rakyat kita memang harus memandang arti pentingnya pendidikan,” katanya. Ketua sidang dan rekan-rekannya saling pandang, tapi akhirnya tidak bisa berbuat apa-apa. Kiai kapung pun meneruskan taushiyahnya.(nam)
sumber : nu.or.id
Ada suatu daerah di Jawa Tengah yang mayoritas berkultur nahdliyin (NU). Penduduk setempat sehari-sehari mengamalkan amaliah NU seperti tahlilan, qunut, wirid dan lain-lain. Aktivitas organisasi NU dan banom-banom-nya pun tumbuh subur termasuk banom pelajarnya, IPNU (Ikatan Pelajar NU).Alkisah, di daerah tersebut, ada satu keluarga yang baru saja kehilangan sang ayah. Sebelum meninggal, si ayah tersebut berpesan kepada istrinya agar menjaga Nanang (bukan nama sebenarnya) putra semata wayangnya yang baru duduk di kelas X madrasah aliyah agar tetap berpegang pada ajaran Islam ahlussunnah wal jamaah dan tidak terpengaruh teman-temannya dari kota yang sering mengajaknya ikut pengajian sel tertutup seperti yang seringkali dipraktekkan kaum muda Islam di perkotaan. Intinya, sang ayah berpesan agar putranya tersebut dapat mengikuti jejaknya menjadi aktivis NU dengan bergabung ke IPNU.
Menjelang tahun ajaran berakhir, tiba-tiba Nanang bertanya pada ibunya, ”Bu, aku mau naik ke kelas XI Aliyah, tapi aku bingung dengan pilihanku, masuk IPA atau IPS ya?”.
Sang ibu pun menjawab, ”Ora usah bingung-bingung le, ingat pesan bapakmu dulu, ora usah melu (ikut) macam-macam, IPA atau IPS, melu IPNU aja le”, tandas sang Ibu. Lho?? (Alf)
HUMOR GUSMUS (gusmus.net)
Suatu ketika, KH Kholil Bangkalan diminta warga untuk memimpin talqin mayit. Awal mulanya beliau tidak menyanggupinya. Karena didesak oleh shohibul musibah akhirnya kiai Kholil mau dengan syarat. Karena beliau beserta lima santri, tiap santri harus dibayar satu juta sehingga lima santri berjumlah lima juta. Setelah dilakukan negosiasi permintaan kiai direstui oleh shohibul musibah.
Prosesi talqin dimulai, kiai Kholil beserta kelima santri mendekat ke kubur. Tidak seperti talqin pada umumnya, beliau menggoyang-goyangkan batu nisan jenazah dengan keras dan hal tersebut membuat kaget jamaah takziyah. Dengan masih menggoyang-goyangkan batu nisan dengan keras beliau mulai men-talqin, “Hai mayit, nanti kalau ditemui malaikat bilang saja engkau santri KH Kholil Bangkalan.” (Syaiful Mustaqim)